Nikmatnya Makan Durian di Pantai Pasir Putih
setelah Puas Menjelajahi Gunung Api Purba
Seribu Destinasi Wisata di Gunung Sewu Yogyakarta
 |
The Pink Traveller with Krakal White Beach View |
Travel Story of Rirry #TraveRy
oleh Hapsari
Sulistyaningrum
Kali ini Rirry, The Pink
Traveller, kedatangan sahabat-sahabatnya yang sedang berlibur ke
Yogyakarta. Dengan senang hati, aku membawa mereka menjelajahi selatan
Yogyakarta. Siapa sangka ternyata ada Seribu Destinasi Wisata di Gunung Sewu,
Yogyakarta! Mulai dari menjelajahi Gunung Api Purba Nglanggeran, hingga
nikmatnya makan durian di pinggir Pantai Sadranan berpasir putih. Mau tahu
cerita seru selengkapnya? Ini dia ceritanya! :-)
Menempuh Perjalanan 160
km dengan Sepeda Motor
Membayangkan perjalanan kami kali ini sesungguhnya sudah
cukup memacu adrenalin. Bayangkan saja, jarak 160 km ditempuh dengan
menggunakan sepeda motor dalam waktu sehari. Apalagi yang mengendarai adalah
para wanita: aku dan Eva sebagai pengendara, dan Pusfita yang dibonceng Eva.
Wuihhh, jagoan bukan...
 |
Ini Dia Para Lady Riders kita dengan Background Pematang Sawah |
Sebetulnya kami bisa saja menyewa mobil, akan tetapi
berhubung kami hanya bertiga dan berstatus ‘mahasiswa’, jadi cara paling
efisien dari segi biaya adalah menggunakan motor. Hehe... Eva, sahabatku dari
SMA ini, memang sudah tomboy dan jago di olah raga sejak dari dulu. Ketika ia
ingin menggunakan motor untuk perjalanan kita kali ini, aku langsung
menyanggupinya –meski aku bilang kami bakal loro
boyo (loro boyo = sakit pinggang;
Bahasa Jawa, -red.).
Awal mulanya, kami ingin mengejar sunrise di Punthuk
Setumbu, Magelang, di Sabtu dini hari. Tapi, karena di hari Jumat tanggal 27
Februari 2015, Eva dan Pusfita baru saja sampai dengan menggunakan bus
Efisiensi dari Purwokerto tujuan Yogyakarta, maka mereka masih merasa letih.
Oya, travel day hari pertama yang
dialami para traveller biasanya
memang melelahkan. Oleh karena itu, disarankan di hari pertama para traveller tidak berkunjung ke destinasi
yang terlalu jauh atau berat dan beristirahat.
Alhasil, rencana ke Punthuk Setumbu mesti dialihkan ke
rencana lain. Untung aku punya seribu ide destinasi wisata lain di Yogyakarta!
Aku langsung terpikir membawa mereka seharian di hari Sabtu, 28 Februari 2015 itu
ke selatan Yogyakarta, yakni Gunung Kidul dan sekitarnya. Aku pun sudah sering
kesana, membawa tamu asing ber-cave
tubing ria di Goa Pindul, naik Gunung Api Purba Nglanggeran, atau menyusuri
pantai-pantai pasir putih berkarang di Gunung Kidul untuk menikmati sunset, makan seafood, atau bahkan snorkeling.
 |
Di Puncak Gunung Nglanggeran pada Kunjungan Pertama di bulan Januari 2015 |
Aku mengajak mereka untuk menjelajahi Gunung Api Purba
Nglanggeran yang sedang hits di pagi
hari, lalu siangnya ke Pantai Sadranan yang terkenal bisa snorkeling disana dan kebetulan belum pernah kukunjungi, dan sore
harinya pulang sebelum matahari terbenam.
Dengan bermodalkan mbah ‘google’, kami mengetahui bahwa
jarak tempuh dari kosanku ke Pantai Sadranan adalah 70 km! Wow! Belum lagi ke
Gunung Nglanggeran dari Pos Polisi Lalu Lintas Pathuk di Bukit Bintang berjarak
10 km. Jadi total perjalanan kita pulang pergi kurang lebih adalah: 160 km!
Mereka pun setuju dan kami pun mulai bersiap. Here we go....!
Seribu Destinasi
Wisata di Gunung Sewu Yogyakarta
Gunung Sewu, atau yang secara resmi dikenal dengan nama
Gunung Kidul, merupakan salah satudari lima Kabupaten dan terletak di sebelah
tenggara Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Kalau kamu ingat lirik lagu Ninja
Hattori yang kurang lebih seperti ini bunyinya:
“Mendaki gunung,
lewati lembah, sungai mengalir indah ke samudera,
bersama teman
bertualang...”
 |
Pemandangan Gunung Kidul, mulai dari Gunung, Goa, Air Terjun, Sungai, hingga Pantai |
Semuanya ternyata ada di Gunung Sewu Yogyakarta. Ya, mulai
dari Gunung, Goa, Air Terjun, Sungai, hingga Pantai, mungkin ada Seribu
Destinasi Wisata di Gunung Sewu, sesuai dengan namanya Gunung Sewu (Sewu = Seribu; Bahasa Jawa, -red.).
Tak puas dengan destinasi alam itu saja, Gunung Sewu juga
menjajakan wisata kuliner yang orang Indonesia paling tunggu-tunggu: Durian!
Jangan tanya betapa lezat dan terkenalnya durian asli Gunung Sewu sini. Wow,
top markotop!
 |
Patung Duren di Embung Nglanggeran, Ikon khas Gunung Kidul |
Waktu yang paling tepat untuk mengunjungi Gunung Kidul dan
Wonosari sesungguhnya adalah pada saat tidak musim hujan, yakni tengah tahun.
Kalau awal atau akhir tahun, biasanya musim hujan, jalanan licin, dan situs
wisata menjadi mendung berawan. Oleh karena itu bagi para traveller yang mengendarai motor, diharap mempersiapkan helm
berkaca transparan, jas hujan, sandal, dan baju cadangan apabila kehujanan.
Tapi kalau sedang tidak musim hujan, Gunung Kidul terkenal dengan areanya yang
kering dan kekurangan air.
Rute untuk menuju ke Gunung Sewu dari Yogyakarta dapat
ditempuh dari Ring Road Timur
Yogyakarta, lalu ambil jalur Jl. Wonosari – Yogyakarta. Ikuti sepanjang jalan
tersebut sampai mendaki Bukit Bintang yang terkenal sebagai tempat nongkrong kawula muda karena dari atas
bukit itu bisa melihat bintang-bintang yang bertaburan dan city view of Yogyakarta di malam hari yang indah sekali.
Lalu, kamu akan melewati tulisan besar ala Hollywood di Bukit Bintang, “Gunung
Kidul” dan “Welcome to Geopark Gunung Sewu Yogyakarta”. Nama “Gunung Sewu”
sendiri baru aku dengar saat melihat tulisan besar itu. Kata teman-teman orang
Yogyakarta sih karena daerah selatan Yogyakarta ini bergunung-gunung, sehingga
dinamakan Gunung Sewu atau Seribu.
Destinasi pertama kami adalah Gunung Api Nglanggeran yang
terletak di Pathuk, Gunung Kidul. Untuk mencapainya, setelah dari tulisan besar
ala Hollywood di Bukit Bintang itu,
kami sampai di persimpangan dimana ada Pos Polisi Lalu Lintas Pathuk. Kami langsung
berbelok ke kiri, ke jalanan kecil di seberang pos polisi tersebut, itu adalah shortcut menuju Gunung Api Nglanggeran.
Dari situ, jarak tempuh kami ke tempat wisata tinggal kurang lebih 10 km lagi. Penasaran
dan masih tetap bersemangat, kami melanjutkan perjalanan. Chayo!
Naik Gunung Nglanggeran,
Gunung Api Purba Yogyakarta yang Sedang Naik Daun
Jalanan kecil melewati pedesaan menjadi rute yang ditempuh
untuk menuju Gunung Nglanggeran. Naik dan turun melewati lembah sudah biasa
dengan menggunakan motor atau mobil. Menjadi luar biasa saat melihat ada para bikers yang sedang berjuang menempuh
jalur ini, big applause for them!
Melihat mereka, kami menjadi termotivasi dan tidak mengeluh capek, karena
menggunakan sepeda saja mereka bisa sampai sejauh ini.
 |
Pemandangan Sawah Berterasering yang Indah |
Kami tetap bersemangat mengendarai sepeda motor kami.
Pemandangan berubah saat jalanan yang kami lalui membelah lembah dan sawah. Di
kiri kami terbentang lembah hijau nan indah dengan samar-samar tepi tebing
Gunung berapi purba, sementara di kanan kami terhampar sawah-sawah yang disusun
berterasering. Kami berhenti sebentar untuk mengambil foto disini. Aku berseru,
“That’s why I love Indonesia!”
Tidak lama kemudian, kami sampai di Pos Pendakian Gunung Api
Purba Nglanggeran. Di situ, kami membayar bea masuk dan parkir motor. Untuk
biaya masuk siang hari Rp 7.000 per orang, dan malam hari Rp 8.000 per orang,
mungkin karena banyak yang bermalam atau camping
disini. Wisatawan mancanegara dikenai Rp 15.000, motor Rp 2.000, dan mobil Rp
5.000.
 |
Loket Pendakian Gunung Api Purba Nglanggeran |
Jalur pendakian dimulai dari Pendopo Joglo Kalisong. Sebelumnya
terdapat tulisan besar “Selamat Datang” akan tetapi saat kunjungan, sayang
sekali tertutup oleh sepeda motor yang parkir, sehingga kami tidak dapat mengambil
foto disitu.
 |
Foto dengan Tulisan Selamat Datang di Pendakian Pertama |
Kami memulai pukul 09.30 WIB. Dari situ, ada papan informasi
yang menunjukkan Peta Jalur Pendakian, Deskripsi tiap Situs Wisata yang ada di
Gunung Nglanggeran, Gambaran Umum dan Himbauan Kawasan Ekowisata Gunung Api
Purba, dan aktivitas yang dapat dilakukan di area tersebut.
 |
Pendopo Joglo Kalisong |
 |
Papan Informasi Peta Jalur Pendakian dan Deskripsi tiap Situs Wisata yang ada di Gunung Api Purba |
 |
Papan Informasi Gambaran Umum dan Himbauan Kawasan Ekowisata Gunung Api Purba |
 |
Papan Informasi Aktivitas di Gunung Api Purba |
Karena sifatnya yang merupakan gunung wisata, maka jalurnya
telah dibuat mudah, seperti tanah yang diratakan menyerupai anak-anak tangga,
pegangan di sisi-sisinya berupa tali atau kayu untuk jalur berbatu atau licin,
atau tangga-tangga kecil dari kayu untuk mendaki batuan yang curam.
 |
Gambaran jalur pendakian berupa tanah yang dibentuk anak tangga |
 |
Gambaran jalur pendakian berupa bebatuan |
 |
Gambaran jalur pendakian dengan tali-temali |
Meski tidak terlalu tinggi dan hanya merupakan gunung
wisata, sangat disarankan untuk tidak menyepelekan pendakian ini. Sangat
disayangkan banyak warga lokal yang naik ke atas dengan perlengkapan seadanya,
seperti dengan sendal wanita atau sendal karet.
Gunakanlah sendal gunung atau
sepatu dengan grip yang kuat, karena
jalurnya cukup licin, terutama sehabis hujan. Ingat Sapta Pesona gunung ini,
termasuk Keamanan di dalamnya... dan yang paling kusuka adalah Papan Penunjuk
Jalan yang ditulisi kata-kata penyemangat nan lucu.
 |
Papan Sapta Pesona |
 |
Yang Punya Pacar, Sesayang2nya sama Pacar, tetap Sayang Lingkungan yaa :-) |
 |
Yang Jones, Sayang2annya sama Lingkungan Sekitar aja yaaa... :-P |
Kami mendaki hingga bertemu dengan batu yang tersusun
seperti alas tempat untuk bertapa dan juga menyerupai kanopi untuk bertapa di
bawahnya. Mungkin jaman dahulu, tempat ini digunakan untuk bertapa. Di
kunjunganku sebelumnya, aku melihat ada tangga yang dibuat dari rangkaian ban
untuk mencapai puncak batu tersebut. Kelihatannya mudah untuk mencapainya, but actually it was so hard! :’D
 |
Bertapa dulu buat cari wangsit, hahaha gak ding itu kan musyrik *edisi alim |
 |
Oh meeennn, it was so haaarrrdd climbing this stairs of wheel. Anyone? |
 |
Pendopo yang dapat ditemui di sepanjang jalur Pendakian. Yang capek, monggo duduk-duduk dulu... :-3 |
Kami naik lebih tinggi lagi, melewati satu pendopo, kemudian
satu pendopo lagi, hingga kami sampai di Batu Bercelah. Celah sempit yang
terbuat dari dua sisi tebing besar, membuat kami membayangkan seperti Frodo
Baggins saat dikejar-kejar oleh Gollum di film The Lord of The Rings. Hahaha...
 |
Gambaran Jalur di Batu Bercelah |
Di lantai pertama, kami sudah dapat melihat hamparan
permadani hijau di bawah sana. Sawah, sungai, hutan, rangkaian bukit, awan yang
berarak. Subhanallah... indahnya... Kami pun mengambil foto Groupie...
 |
Groupie Lantai pertama |
Kami naik lebih tinggi lagi. Kali ini harus melewati tangga
kayu yang agak licin. Di lantai kedua, pemandangan yang terlihat lebih luas
lagi. Mari kita Groupie.... :-D
 |
Groupie Lantai Kedua. Eh menyong, eh menyong menyong... |
 |
Groupie Lantai Kedua, nah yang ini baru bener... :-D |
Kemudian kami berpindah, kami menaiki dataran lebih tinggi
lagi, melewati sebuah pendopo. Perjuangan kami terbayarkan, karena di lantai
ketiga atau yang terakhir ini pemandangan terlihat lebih spektakuler. Disini
dinamakan Gunung Bagong. Dari sini, hamparan sawah berterasering yang kami
lihat di bawah tadi kini dapat kami lihat dari atas, and it’s so beautiful!
 |
Groupie Lantai Ketiga |
 |
Gunung Bagong |
 |
Gunung Bagong ehem, aku suka gambarnya jadi aku masukin aja ya :-D *abaikan orangnya haha |
Di sisi sebelah kanan seharusnya kami bisa melihat puncak
Gunung Merapi seperti kunjunganku sebelumnya. Tapi sayang sekali pada kunjungan
kami kali ini, tertutup awan dan kabut. Di sisi sebelah kiri, terdapat tebing
bergurat hitam yang menunjukkan ciri khas Gunung Api Purba dari Nglanggeran
ini. So exotic! Tak berlama-lama,
kami pun ber-Groupie ria lagi... :-D
 |
Groupie Lantai Ketiga dengan Tebing Hitam khas Gunung Api Purba |
Cerita seru dimulai saat kami melanjutkan perjalanan. Kami
dihadapkan pada 2 jalur, ke kanan atau kekiri dengan tulisan “Jalur Pendakian
2”. Karena ada kata “turun” di papan penunjuk Jalur Pendakian 2 itu, maka kami
pikir itu jalur turun dan kami mengambil jalur ke kanan. Aku mengamati bentuk
jalurnya. Oh damn, ini jalur yang
belum pernah kuambil sebelumnya. Tidak ada tali temali di bebatuan terjal
seperti itu... Tidak ada perjalanan melipir tebing dengan lembah curam di
sampingnya... Oh no... Kami salah ambil jalur!
 |
Aku baru ingat, seharusnya Jalur Pendakian 2 ini yang kuambil seperti Pendakian sebelumnya ini! Lol |
 |
Rute seperti ini yang kami ambil =__=” diapit di antara bebatuan. Dari bawah ke atas: Eva (Kerudung Putih), Pusfita (Kerudung Kuning), The Pink Traveller (yang ini abaikan saja haha) |
Dengan modal keberanian, aku akhirnya mendorong Eva dan
Pusfita untuk tetap mengikuti jalur ini. Berbekal pengalaman naik gunungku, aku
tahu bahwa jalur ini masih aman karena masih ada jejak manusia, masih
memungkinkan untuk dilewati meski agak sedikit terjal. Benar saja, tidak lama,
kami menemukan sebuah pendopo yang terletak di bibir tebing. Fyuhhh!!!
Kami pun rehat sejenak, dan tak lupa... Groupie again! What a typical of Indonesian people, hahaha! :-D
 |
Pemandangan dari Bibir Tebing |
 |
Groupie dengan Pemandangan dari Bibir Tebing |
Lalu kami melanjutkan perjalanan. Gairahku semakin membara
karena rasa penasaran belum pernah melewati jalur ini. Eva dan Pusfita berada
di belakangku, mengikutiku dari belakang. Jalur yang kami tempuh lebih berbatu,
lebih terjal, ada banyak pegangan tali temali di kanan-kiri, tapi lebih tidak
licin atau becek.
Akhirnya kami mencapai simpang dengan tulisan “Sumber Mata
Air Comberan”. Ternyata ini dia pertemuan dengan Jalur Pendakian 2 yang tidak
kami ambil tadi. Huuaahh, ini seperti ‘hadiah’ dari perjuangan kami melewati
jalur tadi.
 |
Gambar Papan Sumber Mata Air Comberan |
Lantas aku bilang ke Eva dan Pusfita, “Kalian mau lihat mata
air itu? Coba aja, kalian akan melihat sangat tidak mungkin mencapai mata air
itu karena harus melewati celah batu yang sangat sempit. Mungkin orang-orang
yang kesana bisa melewati celah itu karena ada ‘tenaga lain’ yang mendorongnya.
Aku tunggu disini, karena wanita yang sedang haid tidak boleh kesana.”
Setelah 15 menit menunggu, Eva dan Pusfita kembali. Eva
bilang “Bisa aja Ri kita lewat sana, tapi emang sempit banget celahnya...” Aku
mengangguk setuju, “Ya kan bener kan... Cuma yang punya ‘tenaga lain’ yang akan
bela-belain lewatin celah sempit dan berbahaya itu...”
Lalu mereka melihat “Es Dawet” yang dijual di pondokan dekat
persimpangan. Lamis (Lambe Manis = Mulut Manis; Bahasa Jawa,
-red.) yang dijajakan penjual sangat menggoda iman dan takwa kami untuk mampir
setelah berkeringat dan capek mendaki. Eva dan Pusfita memutuskan akan mencari
Es Degan atau Kelapa Muda setelah turun gunung ini. Aku setuju bangettt... :-D
Aku pun memotivasi mereka bahwa tinggal sepertiga lagi
menuju puncak. Yeahhh! Mereka kupersilakan jalan di depan, karena jalur menuju
puncak sudah mulai terlihat. Ada sebuah tenda yang terlihat sedang camping, menandakan kalau kami telah
memasuki Camping Ground 1, 2, and 3.
Yap, sedikit lagi... Menuju Puncak! (backsound: AFI, Akademi Fantasi Indosiar,
yeay yeay yeay!)
 |
Papan Camping Ground |
Akhirnya sampailah kami di plang “Puncak Nglanggeran.
Selamat, Anda Luar Biasa” yang dipasang di samping tangga kayu berpohon menuju
puncak. Sambil menunggu antrian pendaki yang sedang turun, selfie dulu kita nona-nona... Kalian Luar Biasa! :-D
 |
Papan Puncak Nglanggeran |
Perjalanan akhirnya berbuah hasil yang membahagiakan. Pukul
11.00 WIB, setelah 1,5 jam perjalanan, inilah kami, para traveller wanita, women
riders too, sampai di puncak Gunung Api Purba Nglanggeran! View-nya indaaaahhhh sekaliiii... Dengan
view 3600 kami dapat
melihat hamparan permadani hijau Indonesia. Tebing-tebing hitam khas Gunung Api
Purba, sawah, hutan hijau, siluet gunung dan bukit, awan-awan putih yang
berarak di langit yang biru cerah...
“Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?”
(Al-Qur’an, Surat
Ar-Rahman 30 Ayat 13)
Kami lalu mengambil foto... selfie and groupie, whatever them all!
 |
Great job, Ladies! |
 |
Finally we arrived at the peak of Nglanggeran Ancient Mt. |
 |
"...if the high was worth with the pain..." (Blank Space - Taylor Swift) |
Saat sibuk mengambil foto, kami kaget menemukan sebuah sapu
lidi bergagang di puncak macam ini. Ide gilaku langsung muncul: Taking Levitation Photo! Aku
membayangkan terbang dengan sapu lidi seperti Harry Potter! Ahahaha... And voila, ini dia, I’m flying like Harry Potter!
 |
Flying like a Harry Potter |
Setelah kurang lebih sejam di puncak pada saat matahari
sedang tinggi-tingginya, pukul 12.00 WIB kami pun turun gunung. Hahaha, turun
gunung purba dengan muka hitam gosong dan badan kekar-kekar, kami sudah gak
jauh bedanya dengan orang-orang purba yang turun gunung.... :-D
 |
Karena ada seorang remaja yang meminjam tongsisku, kami pun meminta bantuannya untuk mengambil foto kami bertiga di Puncak :-D Di belakang kami terlihat Embung dari Puncak Gunung Nglanggeran. |
 |
"The moment will never happen twice... Make it yours!" Siap-siap, manusia purba mau turun Gunung Api Purba.... |
Perjalanan turun gunung lebih cepat daripada pendakiannya,
hanya memakan waktu setengah jam. Kami mengambil jalur turun Pendakian 2 yang
tadi belum kami lewati, lebih berlicin, becek, dan lebih panjang, namun lebih
landai, tidak seperti di bibir tebing tadi. Lalu kami keasyikan mengobrol,
hingga akhirnya jalur yang kami ambil sedikit meleset. Kami malah keluar di
perumahan warga dan perkebunan Kakao warga. Hahaha....
Di sekitar Gunung Nglanggeran ini ada banyak warung
kelontong dan warung makan. Bagi kalian yang kelaparan, don’t worry, ada Rumah Makan Padang Sari Purba disana. Yep, I know what you are thinking, seperti
idiom, bahkan di bulan saja Neil Amstrong bisa menemukan Rumah Makan Padang
disana... hihihi :-D
 |
Rumah Makan Padang Sari Purba |
 |
Warung Kelontong di Sekitar Gunung Nglanggeran |
Tak jauh dari situs ini, juga ada tempat wisata lain, yakni
Embung, berupa kolam buatan yang dibuat di atas bukit atas kerjasama dari
Pertamina. Embung ini bisa kita lihat dari puncak Gunung Nglanggeran. Di
kunjunganku sebelumnya, aku sempat kesana. Kita perlu menggunakan mobil atau motor dari Pos Pendakian Nglanggeran ke lokasi parkir Embung, kurang lebih 2 km.
 |
Perjalanan menuju Embung dari Nglanggeran. Aku suka pencahayaannya. Perfect Lighting! Karena pas pengambilan gambar matahari persis di atas ubun-ubun kita, jadi gimana gak terang coba =__=”:
|
 |
Pemandangan Embung dengan Latar Belakang Gunung Nglanggeran
di Kunjungan Sebelumnya.
|
Tapi karena kami ingin cepat-cepat melanjutkan perjalanan
–ummm, lebih tepatnya ingin cepat-cepat cari Es Degan- maka kami pun segera
memacu motor kami kembali...
Here we go again,
Ladies!
Durian Itu Seakan
Memanggil-manggil Kami....
Kami melewati jalan yang sama menuju jalan utama
Wonosari-Jogja. Ketika sedang asik-asiknya mengendarai sepeda motor, mata kami tidak
sengaja tertuju pada pedagang durian yang membuka lapak yang eyecatching. Durian-durian itu seakan
memanggil-manggil kami... “Ayo sini, sini, makan durian dulu, enak loh...”
 |
Durian dan Penjualnya Pak Gito |
Maka, aku dan Pusfita yang menyukai durian lantas segera
berhenti di situ. Eva tidak menyukai durian karena baunya membuat eneg. Di
lapak tersebut sudah ada banyak pengunjung lokal, ada yang sedang memilih,
menawar-nawar harga, atau sedang asik menikmati durian.
 |
Bagi yang mau pesan, yang mau pesan... |
Aku dan Pusfita pun memilih durian dengan bermodal
pengetahuan tips ‘memilih durian’ dari internet. Pokoknya yang durinya tidak tajam,
jarak antar durinya berjauhan, dan kalau dipukul bunyinya ‘dem dem’. Ehem,
durian mana ya yang durinya gak tajam, kalau gak tajam, ‘tumpulan’ dong
namanya...
Akhirnya aku dan Pusfita mendapatkan satu durian yang kami
sepakati untuk dimakan berdua, dengan harga Rp 35.000 per buah. Lumayan, kalau
di kota harganya pasti lebih mahal. Kami memutuskan untuk memakan durian
tersebut saat minum es degan, maka kami meminta tolong kepada penjualnya untuk
mengikatkan durian itu di bawah pedal motor yang kukendarai. Durian...
Durian... Si gadis pembawa durian pun meluncur kembali....
Bakmi Jawa dan Ayam
Goreng Kampung Menyelingi Perjalanan Kami
Dengan durian yang dijinjing (di bawah pedal motor lebih
tepatnya, bukan di bahu), kami meluncur melewati perbukitan, mencari-cari apa
yang diincar untuk melepas dahaga siang hari yang terik: Es Degan (Kelapa
Muda). Setelah mencari cukup lama, yang kami dapatkan adalah Es Dawet. Ya
sudahlah, tak ada Es Degan, Es Dawet pun jadi, bisa jadi pepatah baru deh.
Lalu kami melanjutkan perjalanan. Target kami adalah untuk
makan durian dengan Es Degan di pinggir jalan jadi bergeser: makan durian di
Pantai Sadranan saja. Tapi apa mau dikata, perut yang sudah ‘bernyanyi’ pukul 2
siang itu membawa kami melipir ke Bakmi Pak Noto.
Di kunjunganku sebelumnya saat ke Pantai Nglambor (lihat di
artikel perjalananku yang lainnya), aku sempat mampir disini dan mencicipi
Bakmi Jawa yang kata temanku orang Jogja, enak. Ya, Bakmi Gorengnya sangat
kurekomendasikan. Endesss booo! :-D
Anw, maaf karena lupa simpan fotonya dimana, jadi foto plang
Bakmi Pak Noto-nya gak ada deh. Hehehe... Pokoknya letaknya di jalan antara
Lapangan Udara dan Bunderan Wonosari. Di jejeran Ayam Goreng Pak Parman dan
Bakmi-bakmi Jawa lainnya juga, kalau dari arah Jogja, di kiri jalan.
Ketika kami sampai di Bakmi Pak Noto pukul 14.00 WIB siang
itu, ternyata Bakminya masih siap-siap untuk buka. Untuk makan siang, kami pun memesan
Ayam Goreng Kampung dan Soto. Tak dinyana, Ayam Gorengnya juga endesss juga!
Bener-bener Ayam Kampung. Harga masih harga rate Yogyakarta: Ayam Goreng 1
potong Paha-Ceker Rp 10.000, nasi dengan sambal korek endesss Rp 6.000, Soto
Ayam Rp 9.000, es jeruk/es teh Rp 2.000. Makan bertiga Cuma Rp 41.000??? Di
pelosok dunia manalagi bisa kita dapatkan yang semurah ini kalau bukan di
Yogyakarta? :-D
Rasa gregetan kami bertambah, saat kami sudah selesai makan,
ternyata Bakminya sudah buka dan melayani pesanan. Bahhh, tadi katanya masih
lama bukanya –meski di akhir perjalanan sekembalinya kami dari Pantai Sadranan,
kami mampir lagi kesini untuk makan malam dan berhasil memesan Bakmi Goreng
Jawa yang endesss itu, haha! Tips, jangan cepat percaya akan prediksi ‘waktu’
dan ‘jarak’ di daerah Jawa, karena, ehem, sepertinya mereka punya dimensi
mengenai ‘waktu’ dan ‘jarak’ yang berbeda deh...
Alhasil dengan perut kenyang dan rasa penasaran belum
kunjung sampai juga ke Pantai Sadranan, para traveller wanita ini pun
melanjutka perjalanan. Ok, dari bunderan Wonosari ke Pantai Sadranan tinggal 30
km lagi. ‘Tinggal’??? Ya buat memotivasi lah...
Naik turun jalanan, merem melek mata saat mengendarai, semua
kami lalui. Bermodal permen karet dan earphone
untuk mendengar lagu dari tab-ku, aku
tetap mempertahankan laju kendaraanku. Eva mengendarai motor lebih pelan dari
aku, rata-rata Cuma 40 km per jam. Sementara aku? Biasanya 100 km luar kota,
dalam kota ya bisa 50 km, hehe... Maka, aku yang berkendara di depannya untuk
menunjukkan jalan jadi ikut menyamai kecepatannya dan sering mengontrol ke
spion belakang agar dia dan Pusfita tidak ketinggalan. Jadi kebayang kan
lamanya perjalanan kami?
Kami mengikuti petunjuk jalan. Ancer-ancer kami adalah ke
Pantai Krakal, karena Pantai Sadranan letaknya 0,9 km ke timur Pantai Krakal.
Di persimpangan yang menunjukkan lurus ke arah Pantai Krakal atau ke kiri ke
Pantai Siung, kami mengambil arah yang lurus.
Kami mengikuti jalan sampai mencapai Pos Retribusi. Ehem,
keganjilan muncul ketika diminta per orang Rp 10.000, tapi ketika kami bayar
untuk rombongan bertiga yang seharusnya Rp 30.000, mereka hanya minta Rp 20.000
dan kami tidak diberikan karcis bea retribusi. Hmmm, aneh...
Pemandangan terus berubah di sepanjang jalan yang kami lalui:
dari desa-desa, sawah-sawah, ladang-ladang, hutan bambu, penjual Belalang
Goreng, penjual Srikaya, hingga hey... Batu-batuan Karang dan Pasir Putih! Itu
sudah menjadi tanda kalau kami telah mendekati pantai. Benar saja, tanda
‘Pantai Krakal’ 8 km telah ada di depan mata. Kami berbelok ke kiri dan
menyusuri jalanan kembali. Ayo ayo semangat, 8 km lagi! Zzzzz, meski ngantuk,
kami tetap bersemangat.
Aku pun sembari bernyanyi riang dengan ear phone-ku. Lagu Ariana Grande, lagu Tulus, lagu Maroon 5, semua
kunyanyikan. Betapa asik ‘berkaraoke’ di tengah alam seperti ini. I really want to break free! :-D
Akhirnya kami pun sampai di persimpangan Pantai Sadranan,
ada patung orang Surfing yang
dibangun oleh Universitas Atma Jaya di pertigaan ini. Kami berbelok ke kanan.
Eits, hati-hati kalau sudah sampai disini. Ada pungli alias
Pungutan Liar (lagi). Kami diminta untuk membayar Rp 2.000 per sepeda motor,
sementara di Pantai Sadranan kami juga diminta biaya parkir Rp 3.000 per sepeda
motor. What the ....!
Tapi, mood kami
–lebih tepatnya mood-ku sih hehe-
berubah menjadi lebih baik setelah aku melihat hamparan pasir putih indah yang
luas itu.......
Nikmatnya Makan
Durian di Pinggir Pantai Pasir Putih Sadranan. Hey, bisa snorkeling juga loh
disini!
Aku langsung suka suasana pantai ini karena mirip dengan
Pantai di Bali: ada banyak gazebo dari bambu, dengan hamparan pasir putih
dengan garis pantai yang sempit yang menunjukkan kesan private beach. Ingatanku kembali ke pengalaman menyenangkan tentang
pantai-pantai di Bali. Aku lupa nama pantai yang ini. Sayang, saat itu sedang
ada serombongan orang yang berkunjung dan sepertinya sedang gathering, sehingga kami harus segera berpindah
menyusuri pantai lainnya.
Tak sengaja, kami melihat hamparan pasir putih panjang di
Pantai Slili, yang memanjang terussss sampai di ujungnya terdapat bukit batu
karang yang membuat kami penasaran. Kami bertanya pada penjual disana, ternyata
garis pantai Pantai Slili ini bersambung dengan Pantai Krakal yang ujungnya
terdapat bukit batu karang itu.
 |
Pemandangan Pantai Slili: Di ujung baratnya itu adalah Bukit Idaman Batu Karang di Pantai Krakal |
 |
Pemandangan Pantai Slili: Di ujung timurnya itu adalah Batu Karang di Pantai Sadranan |
Kami mengendarai sepeda motor kami terus kesana, melewati
plang ‘Pantai Krakal’, hingga sampai di bibir bukit batu karang itu. Kami
memarkir motor dan bersiap untuk menyebrangi jembatan yang terbuat dari
rangkaian bambu itu. Tiba-tiba ada suara misterius bak horror yang entah
darimana berasal berseru, “Dua ribu Mbak kalau mau masuk.” Kami sangat kaget
dan terkejut.
Belakangan kami tahu bahwa ada orang yang duduk di bawah
pohon dekat pintu jembatan itu, sedang asik memegang segepok lembaran Rp 2.000.
Pungli lagi, pungli lagi... Kami pun mau tidak mau membayar Rp 2.000 per orang.
Masuk ke kas mana? Entahlah...
 |
Jembatan ke Bukit Idaman. Awas diminta bayar Rp 2.000 loh buat kesini doang =__=” |
Lalu kami pun bergegas menaiki bukit itu. Ada plang dengan
nama ‘Bukit Idaman’, apakah itu namanya? Yang pasti pemandangan dari sini:
Luarrrr biasaaaa! Kami bisa melihat hamparan garis pantai putih yang melengkung
panjang seolah tanpa batas. Makin eksotis lagi, terdapat payung warna-warni
tempat untuk sunbathing atau
bersantai di ujung garis Pantai Krakal ini. Nice!
:-D
 |
Plang Bukit Idaman |
 |
Krakal White Beach with Colorful Umbrellas |
Mengingat waktu yang terbatas dan sudah jam setengah lima,
maka kami meneruskan perjalanan kembali ke arah Pantai Sadranan yang ternyata
terletak di balik bukit karang, di timur Pantai Slili. Ada banyak homestay atau penginapan yang ditawarkan
di sepanjang Pantai Slili dan ke arah Sadranan.
 |
Aku suka desain rumah penginapan ini, gak tahu kenapa... lucu aja, pakai batu-batuan kaya gitu... |
Kami pun sampai di Pantai Sadranan. Pantai ini memiliki
pasir putih yang cukup landai dan terkenal bisa untuk snorkeling. Hal yang unik dan jarang, karena pantai-pantai di
Selatan Yogyakarta kebanyakan adalah pantai berkarang. Aku memperhatikan,
pantai ini dilindiungi batu karang besar di sebelah timurnya, dan tanjung
karang yang memisahkan dengan Pantai Slili, oleh karena itu coral disini terlindungi dari arus deras
pantai selatan. Untuk informasi lebih detail tentang snorkeling disini, bisa
menghubungi saya di akhir artikel ini.
 |
Yang mau snorkeling, yang mau snorkeling, silakan... |
Akhirnya yang dinanti pun tiba. Nikmatnya makan durian
sambil minum Es Degan di pinggir pantai berpasir putih, what a perfect combination as closing of our trip! Kami menyewa
gazebo disitu, meluruskan kaki dan pantat yang kebas akibat mengendarai motor
selama berjam-jam. Eva dan Pusfita segera turun ke pantai dan mengambil
foto-foto.
 |
Nikmatnya Makan Durian di Pinggir Pantai Pasir Putih.... Hmmm, lihatnya aja udah bikin ngiler kaannn :-P |
Sementara aku? Menikmati suasana yang syahdu dan rileks ini
dulu saja... Melihat sunset di
kejauhan, melihat sinarnya yang menyusup dari balik tirai daun kelapa yang
menjuntai dari atap gazebo, dengan pemandangan pasir putih dan lautan...
This is how you enjoy
a life!
 |
"C'est la vie!" |
Kembali ke Peradaban.
Masih ada seribu hari lain, jadi besok ke Gunung Sewu lagi ya!
Perjalanan kami ke Gunung Sewu kali ini ditutup saat kami
bergegas pulang dari Pantai Sadranan. Ya aku tahu bahwa di setiap perjalanan
selalu ada akhirnya. Tapi perjalanan yang sebenarnya itu adalah perjalanan yang
kita tempuh dalam realita kehidupan kita sehari-hari.
Bagaimana caranya agar kebahagiaan yang kita lalui selama
proses perjalanan liburan itu bisa juga kita terapkan di perjalanan kehidupan
kita sehari-hari. Bagaimana caranya agar tujuan yang kita dapatkan dalam setiap
perjalanan liburan itu bisa kita terapkan pula di perjalanan kehidupan kita
sehari-hari yang kadang tidak jelas atau tanpa arah tujuan. I think that’s the point for us when we
search about happiness and path in each of our journeys...
 |
What do we search actually in each of our journeys? The path to where we go and happiness in when we go... |
Ok, cukup untuk memakai kalimat filosofis motivasional itu
Ri... kini kembali kepada kesimpulan...
Gunung Sewu atau Gunung Kidul ini sangat cocok bagi para traveller yang menyukai wisata alam,
karena Gunung Sewu menawarkan seribu Destinasi Wisata Alam. Pantai Sadranan
yang kami kunjungi itu saja cuma salah satu dari ratusan pantai pasir putih
berkarang yang ada di Pantai Selatan Yogyakarta. Gunung Api Purba Nglanggeran
juga hits baru-baru ini saja. Siapa yang tahu berikutnya akan ditemukan objek
wisata apa lagi di Gunung Sewu ini?
 |
With background of Gunung Api Purba Nglanggeran from Embung |
Destinasi Wisata alam lain yang terkenal adalah Goa, seperti
Goa Pindul untuk cave tubing. Untuk
aktivitas outdoor yang lebih
menantang lagi, bisa ke Luweng Jomblang, goa vertikal yang terkenal untuk rappeling atau wall climbing di batu karang Pantai Siung, spot terbaik untuk
memanjat dengan view langsung ke laut (baca ceritaku selengkapnya di artikel
lain di blog ini). Kita juga bisa body
rafting di Kali Oyong, atau mengunjungi Air Terjun Sri Gethuk.
Wisata kulinernya yang terkenalnya: tentu saja Durian! Hmmm,
Rambutan berwarna merah ranum yang sedang musim sekarang ini juga banyak
berseliweran di sepanjang jalan, ditemani Srikaya dan Manggis. Tak lupa juga,
coba Walang Goreng, alias Belalang Goreng khas Gunung Kidul yang krispi itu!
Maknyus!
 |
Awas nduduke durian, mbledos koe, Ri. Kalo kurus sih Alhamdulillah... Kalo gak, wah masyalaahhh.. |
Destinasi Wisata ini sesungguhnya tidak hanya untuk lokal
saja loh. Bahkan wisatawan mancanegara juga kesini. Seperti di perjalanan ke
Pantai Sadranan, aku menemukan sepasang turis asing dengan asiknya mengendari scooter matic mereka pulang dari pantai.
Beberapa teman saya dari Aussie juga senang dengan pantai pasir putih di
sepanjang Gunung Kidul ini. Saya juga pernah membawa teman-teman saya dari
Jepang dan Aussie ke Gunung Pidul, dan tebak, mereka menyukainya! Jadi jangan
ragu untuk kesini apalagi membawa turis asing kesini!
Namun demikian, Gunung Kidul letaknya cukup jauh dan
terpencil dari Kota Yogyakarta. Belum lagi akses jalan menuju kesana, naik
turun bukit, terkadang banyak jalanan yang rusak atau bolong. Sangat disarankan
untuk para traveller agar memakai
mobil jika tidak tahan perjalanan jauh dengan motor.
 |
Gambaran medan yang harus ditempuh di Gunung Kidul. Disarankan menggunakan mobil (picture of the car was randomly taken). |
Selain itu, kalau musim kemarau tiba, Gunung Kidul sering
kali kering dan kurang air. Banyak tempat-tempat MCK (Mandi Cuci Kakus) yang belum memiliki
infrastruktur yang layak atau bahkan kekurangan air, jadi bersiaplah... Dulu
waktu ke Luweng Jomblang, aku tidur di Base
Camp yang notabene Ketua RT disitu saja, MCK-nya terbuat dari kayu dan
bambu, dan terletak di samping kandang sapi. Lebih dahsyat lagi, aliran
pembuangannya dijadikan satu dengan aliran pembuangan si sapinya... jadi...
kebayang kan bagaimana ‘wangi’ dan ‘heboh’-nya untuk sekedar MCK disana?
Secara keseluruhan, tempat wisata alam di Gunung Sewu ini
termasuk lengkap, mulai dari Gunung, Goa, Sungai, Air Terjun, hingga Pantai,
ada semua disini. Bangga dengan produk lokal Indonesia, aku beri rate disini
adalah *** (3 Bintang dari 5).
 |
Sunset on Sadranan White Beach, Gunung Kidul, Yogyakarta |
Note:
Semua foto disini diambil menggunakan:
-
Nikon DSLR, properti milik Dhitto
-
Digital Camera Casio Exilim Pink, properti milik
Riri
-
Handphone Camera, properti milik Riri (Samsung),
Pusfita, Eva (Iphone)
See you on my next Travel Story of Rirry #TraveRy! :-)
#GunungSewu #GunungKidul #Yogyakarta #Jogja #Indonesia
#exploreindonesia #thebeautyofindonesia
#durian #GunungApiPurba #GunungApiPurbaNglanggeran
#PantaiSadranan #PantaiPasirPutih #whitesandbeaches #snorkeling
#SeribuDestinasiWisata #LevitationPhoto
#Travelling #Traveller #TravelStory #Review
#TravelAssistance #TravelAssistant #TourGuide #TourLeader
 |
Follow me "The Pink Traveller"
on www.pinkrirry.blogspot.com
Facebook/Linkedin Hapsari Sulistyaningrum
Instagram/Twitter @RirryHapsari |
If you want to go to Gunung Sewu or Gunung Kidul,
Yogyakarta, and you need an assistance, kindly contact me. I would be very
happy to be your Travel Assistant. With the experienced guiding trips and
excellent services, all of your trip will be packaged well without you need to
think the nitty gritty of the trip :-)
“What does it like to be a
traveller
if you can’t bring others to the pleasure
places you want to show ‘em?”
Ways to contact for Travel Assistance to Nglanggeran
Mountain dan Sadranan White Beach, Gunung Kidul, Yogyakarta, Indonesia:
Whatsapp : +6281325261202
This article was posted in Indonesian Language.
Need language translation to read my blog?
Click on the icon translation provided on my blog, Visit
Google Translate, or Contact me to ask for translation.
Post a Comment