Travel Story | The City of Love | Paris, France


Cerita oleh: Hapsari Sulistyaningrum




Orang bijak berkata, “Kejarlah cita-citamu sampai ke Negeri Cina”. Sedari kecil aku senang sekali dengan peribahasa itu. Aku senang bermimpi. Mimpiku yang paling utama adalah berkeliling dunia. Lalu aku kenal dengan negara Perancis dan menaranya yang paling tersohor seantero dunia itu: Menara Eiffel. ‘Negeri Cina’-ku kini beralih ke Negeri Perancis, yang kata orang ibukotanya, Paris, merupakan Kota Cinta dan bagiku, Kota Mimpi.

Kemudian kesempatan itu muncul: sebuah konferensi internasional Psikologi bernama International Conference of Applied Psychology akan diadakan di Paris, Perancis, pada 8 – 13 Juli 2014. Pada saat itu adalah bulan November 2013 dan deadline pengumpulan abstrak paper adalah akhir bulan. Maka, aku dan sahabatku dalam satu tim membuat abstrak dengan topik Psikologi Lintas-Budaya. Judul penelitian kami adalah “Dealing with Cross-Cultural Differences in the Multinational Companies: Exploring Indonesian New Employees’ Strategy and Meaning.”

Kami menunggu sampai dengan bulan Februari 2014. Rasa deg-degan di hati kami sudah berganti ke rasa nyaris putus asa, karena kami pikir kami paper kami tidak diterima. Namun kemudian, di pertengahan bulan Februati 2014, pengumuman keluar dan voila! Paper kami diterima.

Kami langsung membayangkan kota Paris dan seisinya. Wow, it’s like a dream comes true! Namun, perjuangan kami belum berhenti disitu saja. Selain merampungkan penelitian, aku harus cari dana, pontang panting kesana kemari, maklum aku bukan lahir dari keluarga kaya. Setelah Ternyata mewujudkan mimpi tidak semudah itu. Tapi kata pepatah, “Banyak jalan menuju Roma”. Pasti akan ada jalan agar aku bisa ke Paris.

Benar saja, setelah melalui berbagai persiapan yang matang selama 6 bulan, tibalah kami pada hari keberangkatan. Pada minggu pertama, kami menikmati seisi Kota Paris dan beberapa negara di Eropa. Namun, tebak kemana pertama kali yang kami kunjungi? Menara Eiffel tentunya. Bukan main indahnya, saya benar-benar takjub. Saya akhirnya bisa melihat langsung, mencapai puncaknya, dan melihat keseluruhan Kota Paris.

Minggu kedua kami menghadiri konferensi. Kami menikmati Grand Opening yang seperti kuliah umum di AmphiTheater yang super besar di Palais de Congress, ‘mencicipi’ Cocktail Party, dan mengikuti kelas-kelas Psikologi Terapan. Namun, perjuangan kami masih berlanjut. Saya sangat deg-degan menunggu hari presentasi tim kami yang jatuh di hari kedua terakhir.

Akhirnya, tibalah saat saya mempresentasikan hasil penelitian tim di forum internasional itu. Ternyata kami mendapat apresiasi yang cukup baik. Menurut mereka, isu ini sedang happening, karena banyak perusahaan asing yang ingin membuka usahanya di Indonesia dan ingin melihat kondisi SDM Indonesia disana. Ada profesor yang ingin menghubungkan saya dengan peneliti lintas budaya lain di Indonesia, dan ada juga yang menawarkan saya ikut dengan penelitian lintas budayanya di universitas di Perancis. Wow!

Kini saya pulang dengan rasa bangga, plus pengalaman dan channel baru. Saya memang ingin sekolah di luar negeri, dan publikasi paper secara internasional dan memiliki koneksi dosen internasional menjadi salah satu syaratnya. Kini, Perancis beserta Kota Parisnya menjadi tempat yang amat saya cintai. Tidak hanya suasananya yang memang romantis, tapi juga dimana saya pernah menoreh mimpi manis saya disana. Ya, Paris memang Kota Cinta, begitu pula Kota tempat mewujudkan Mimpi saya.

Yogyakarta, 21 September 2014

Travel Story | Batik Pink dan Bule | Jakarta, Indonesia



 Berbaju Batik Pink, 
Membuatku Mengalihkan Dunia Mas Bule

Cerpen oleh: Hapsari Sulistyaningrum



Pagi hari, 2 Oktober 2014.

Pagi ini berbeda dari pagi-pagi hari biasanya. Hari ini aku pergi ke kantor tempat kerja praktikku dengan memakai baju batik. Aku sudah merencanakan hari ini untuk berbatik ria karena hari ini merupakan Hari Batik Nasional yang diresmikan oleh UNESCO. Awalnya aku berencana untuk memakai bolero batik model batwing, tapi aku agak kurang sreg. Akhirnya aku ingat, dress batik pink-ku. Aku memang suka sekali dengan warna pink dan sesuai dengan mood-ku hari ini, sehingga aku mengatakan pada diri sendiri saat memilih pakaian di lemari, "Ok, aku mau pakai dress warna pink favoritku hari ini."

Jadilah pagi ini aku berbatik pink. Namun pagi ini batik pink-ku harus memakai padanan tambahan: sebuah masker pink yang kubeli di depan stasiun kereta api sesaat sebelum aku menaiki kereta. Aku sudah merasa agak sedikit flu, bersin-bersin, dan tenggorokan terasa seperti ada buah kedondong. Sepanjang perjalanan aku terus memakai masker ini, yang berguna pula untuk menapis polusi-polusi di sekitar.

Naik kereta Commuter Line dari Stasiun Kranji membawaku transit di Stasiun Manggarai dan kemudian transit lagi di Stasiun Tanah Abang membuatku meneruskan kereta dengan tujuan akhirku di stasiun Kebayoran. Hari ini aku ada jadwal interview dengan salah satu jajaran manajerial yang berlokasi di selatan Jakarta, meski sehari-harinya aku berkantor di pusat Jakarta. Timku menjadwalkan pagi hari, jadi sebelum pukul setengah 8 untuk bertemu dengan Bapak Asisten Manajer tersebut.

Setelah turun di stasiun Kebayoran, aku sempat kebingungan mencari arah ke Simprug dimana komplek kantorku berada. Untung saja masker pinkku ini berguna dalam menepis segala macam polusi, segala bebauan yang wajar muncul seperti saat aku melewati Pasar Kebayoran Lama yang terletak persis setelah pintu masuk Stasiun Kebayoran, bahkan mampu menepis godaan para abang-abang yang berada di pinggir jalan.

Aku berjalan dengan percaya diri karena warna pink sebagai warna favoritku membuatku stand up and look more stunning. Tapi lucu juga sih, from head to toe warna pink semua, mulai dari tas tangan wanita rajut handmade Jogja favoritku yang berawarna pink, flat shoes-ku paling nyaman seduniaku yang berwarna pink, dan belt pemanis dress batik pink-ku yang juga berwarna pink, plus masker paling heitsssku sedunia yang berwarna pink pula.

Tibalah aku di depan sekolah internasional ternama di daerah Simprug itu. Not to mention the name ya, I think everybody has already known the name of the school ya. Aku sempat amazed, oh ternyata lokasinya disini toh, oh ternyata yang bikin macet jalanan itu adalah mobil-mobil orang-orang tua berada yang mengantarkan anaknya ke sekolah (berapa ya gaji mereka sebulan sehingga bela-belain menyekolahkan anak di tempat mahal seperti ini demi anak-anaknya dapat pendidikan yang terbaik #salahfokus), oh pasti anak-anak disini belajarnya pakai Bahasa Inggris deh, oh pasti yang mengajar orang-orang luar negeri alias bule deh. Ketika pikiranku berlabuh di ide "bule" sontak aku langsung kegirangan, "Wahaha, asik dong banyak bule, bisa Tebar Pesona lah, siapa tau dapat satu". Lalu aku terkikik sendiri di balik maskerku akan imajinasi yang melejit di pikiranku.

Namun tak lama kemudian bagai ditiban durian runtuh, aku melihat sosok seperti malaikat dari kejauhan, dari arah tangga jembatan penyebrangan yang menghubungkan ke halte busway Simprug. Sosok tinggi jangkung, berkulit putih, dan berwajah bak malaikat dan berbadan bak pangeran tiba-tiba muncul di samping tangga di trotoar jalan tersebut. Yang membuatku tambah amazed dan surprised adalah dia memakai baju batik lengan panjang berawarna merah marun dan berkaca mata, wow penampilannya sungguh perfect, santai tapi kasual. Hmmm, sepertinya dia salah satu guru di sekolah internasional itu deh, pikirku.

Bule tersebut seperti setengah terengah dan membetulkan posisi jalannya saat menapaki trotoar, entah mungkin ia habis turun dari tangga atau dari tempat di balik tangga tersebut. Pikiran nakal mengusikku, "Ni bule dari warteg abis sarapan kali ya?!"

Aku sempat tertawa geli dengan lamunanku itu, saat aku menyadari kami makin berjalan mendekati satu sama lain. Mataku tak lepas menatap matanya, tapi dengan tatapan jinak-jinak merpati, agak curi-curi pandang malu tapi mau. Ternyata matanya juga tak lepas dari mataku. Aku merasa kenapa ya dia bisa sepenasaran itu?

Lalu aku menyadari dalam hati, "Oh, d*mn! Maskerku lupa kubuka! Pantes saja dia menatap begitu dalam. Mungkin dia penasaran akan full face-ku seperti apa. Seperti Emma Watson mungkin kiranya, haha."

Tapi batinku berkata, "Kan gak lucu Ri, kalau mendadak kamu sok-sokan buka maskermu itu. Kesannya kamu benar-benar mau Tebar Pesona sama tuh bule. Eh tapi gak salah juga sih, kan bisa aja pura-pura batuk atau bernapas, atau malah bertanya. Tapi pada akhirnya, aku tetap memakai maskerku dan dia tetap menatapku dalam-dalam.

Ooohhh d*mn, tatapannya begitu mengalihkan duniaku.

Lebih tepatnya, mungkin sesungguhnya dress batik pink-ku serta masker pink yang kupakai ini telah mengalihkan duniamu, pikirku dengan penuh percaya diri.

Haha, boleh dong percaya diri seperti itu. Habisnya bule tersebut saat kita sudah bersisian pun masih saja memandangiku. Mungkin terpukau dengan pesonaku kali ya. Plus ditambah dengan outfitku yang bikin aku percaya diri dan membuat self-esteem-ku bertambah naik: dress batik pink-ku ini, dan.. Oke not to mention masker pink-ku yang dengan bodohnya gak kucopot saat bertemu dia tapi malah bikin dia penasaran. Hihihi...

Setelah kami saling berlalu, adeganku berikutnya seperti film Ada Apa Dengan Cinta (AADC; -red.). Aku berbalik badan dan melihat apakah bule tersebut juga berbalik badan atau tidak. Tebak apa jawabannya? Tentu saja tidak. Hahaha... Emangnya kaya di film-film, toh ini real life story kok, Ri.

Lalu aku menghela nafas dan tersenyum. Aku yakin kalau jodoh pasti gak kemana. Pasti someday kami akan bertemu. Mungkin kali ini aku tampak seperti mbak-mbak berbaju pink dan bermasker bertemu si mas bule berbatik marun. Aku kembali berjalan di trotoar dan menghanyutkan lamunanku dengan imajinasi-imajinasi liar pertenuan tidak sengajaku dengan bule itu lagi di suatu tempat, mungkin disini lagi, dan di suatu saat, mungkin di pagi hari pukul 7 seperti ini lagi saat dia baru saja keluar apartemennya, menyeberang, dan hendak berangkat ke tempat kerjanya. Atau malah di pelaminan dengan kain batik yang mempertemukan kita ini pula. Who knows...

"You got something on me...

In this world full of people. This won't killing me...

And if we only die once, I wanna die with you."

Seperti di film-film, secara tidak sengaja dan seperti sudah disetel menjadi backsound yang mengiringi adegan sang tokoh utama yang sedang merenungi kisah hidupnya, lirik lagu dari Something I Need by One Republic tersebut terputar dari tab-ku dan kudengarkan dengan headset untuk menemani perjalananku. "Yes, si mas-mas bule berbaju batik merah marun, you got something on me," batinku. Begitu juga sebaliknya, aku, si mbak-mbak bermasker dan berbatik pink, mungkin saja telah memberi kesan dalam pikiranmu, "I got something on you, too..."